Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat datang bagi para pembaca sekaligus pengunjung setia Jaka Adhitea Blog dan generasi muda Islam yang dirahmati Allah subhanahu wa ta‘ala. Kali ini admin kembali menghadirkan kisah dan hikmah kehidupan yang terangkum dalam kekayaan sejarah Islam.
Kisah kali ini adalah lanjutan dari postingan sebelumnya, bagi yang belum membacanya silahkan dibaca terlebih dahulu di Abu Thalib Dan Misteri Hidayah - Part 1. Mari kita simak lanjutan kisahnya.....
=================================
Saat itu para petinggi Quraisy yang hilang kesabarannya akhirnya memutuskan untuk siap membunuh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun harus berperang dengan keluarga Abu Thalib. Mendengar kabar tersebut Abu Thalib pun mengajak seluruh keluarganya beserta keponakannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berlindung di lembah miiknya dari ancaman Abu Lahab dan para petinggi Quraisy lainnya.
Kaum Quraisy justru memanfaatkan kesempatan ini untuk memboikot keluarga Bani Hasyim pimpinan Abu Thalib di lembah milik Abu Thalib. Tidak ada yang boleh berhubungan dengan keluarga ini, memberikan perlindungan, berdagang, menikah dan segala bentuk hubungan dengan Quraisy diputus dan kesepakatan boikot ini ditulis dan disimpan di Ka‘bah. Akibat pemboikotan ini keluarga Bani Hasyim termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan istrinya Siti Khadijah dalam kondisi mengenaskan, anak-anak kelaparan dan banyak yang jatuh sakit.
Sementara kaum Quraisy menjaga ketat seluruh pintu masuk ke lembah agar tidak ada yang bisa memberi bantuan. Selama 3 tahun lamanya Abu Thalib tetap sabar sekalipun kesehatannya mulai terganggu. Hingga akhirnya Abu Thalib datang ke Ka‘bah membawa pesan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan bahwa kertas boikot yang disimpan di Ka‘bah telah dimakan rayap. Para petinggi Quraisy yang semula menertawakan pesan tersebut tiba-tiba terdiam karena setelah di cek kebenarannya dan benar saja atas kehendak Allah subhanahu wa ta‘ala kertas boikot benar-benar dimakan rayap dan yang tersisa hanya kalimat “Allah subhanahu wa ta‘ala”. Walaupun begitu kaum Quraisy khususnya Abu Jahal tak juga mengimani kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan tetap mengancam untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Thalib pun kecewa sekalipun tidak mengimani kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Thalib berdoa kepada Allah untuk melindungi keluarganya dari kedzaliman Quraisy.
Di usianya yang semakin senja, Abu Thalib yang sudah mulai terbebas dari boikot mulai merasakan dampaknya, tubuhnya lemah dan terbaring lemah. Ketika merasakan ajal semakin dekat, Abu Thalib memanggil keponakannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sementara kaum Quraisy yang mendengar keadaan Abu Thalib bergegas mendatangi Abu Thalib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang juga segera mendatangi pamannya, sekalipun merasa terganggu dengan keberadaan mereka tak ingin melewatkan kesempatan untuk membukakan jalan hidayah Islam pada sang paman, sebab sang pamannya inilah yang selalu berada di garis terdepan membela dakwah Islam. Namun Abu Thalib yang tak kunjung mengucapkan kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH benar-benar membuat sedih yang mendalam di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi Abu Jahal dan petinggi Quraisy lainnya juga terus mempengaruhi Abu Thalib agar tetap pada agama nenek moyangnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa menahan kesedihannya hingga mengucapkan, “sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah.” Tapi sikap Rasulullah ini mendapat teguran dari Allah dengan menurunkan sebuah ayat yang sekaligus menjadi asbabun nuzul turunnya ayat ini, Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahanam. ” (QS. At Taubah : 113)
[Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa‘id bin al-Musayyab yang bersumber dari bapaknya. Menurut zhahirnya, ayat ini diturunkan di Mekah.]
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta pamannya untuk mengucapkan 'LAA ILAAHA ILLALLAH' ini menegaskan satu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Innamal a‘malu bil khawatim” (sesungguhnya setiap amal itu tergantung akhirnya), kalau akhirnya baik maka semuanya baik. Saat ini kita jangan pernah merasa senantiasa aman dengan hidayah Allah karena kita hidup di akhir zaman, lalu bagaimana manusia yang hidup di akhir zaman itu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Pada akhir masa menjelang kiamat akan terjadi fitnah seperti waktu malam yang gelap gulita, ketika itu seseorang beriman di waktu pagi hari namun menjadi kafir pada sore harinya, dan sore hari beriman namun pagi harinya menjadi kafir, segolongan orang menjual agama mereka dengan materi dunia.” (HR. Ahmad)
Hadits di atas menegaskan bahwa kita mempunyai tugas untuk menjaga hidayah kita hingga titik darah terakhir, bahkan sampai sakaratul maut pun kita jaga hidayah dan keimanan kita sehingga kita mampu untuk mengucapkan ‘LAA ILAAHA ILLALLAH’, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘LAA ILAAHA ILLALLAH’ maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud)
Subhanallah, kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH begitu mahal, semahal Surganya Allah maka sudah sepatutnya untuk kita jaga baik-baik dan jangan diremehkan bahkan Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa,
“Ya Allah Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Kita selalu meminta agar akhir hayat ini ditutup dengan khusnul khatimah, itu terus kita pinta dan kita jaga agar kehidupan kita selalu mengarah kepada kebaikan dan akhirnya Allah tutup dengan kematian yang khusnul khatimah.
تَكُونُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ فِتَنٌ كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ أَقْوَامٌ دِينَهُمْ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Pada akhir masa menjelang kiamat akan terjadi fitnah seperti waktu malam yang gelap gulita, ketika itu seseorang beriman di waktu pagi hari namun menjadi kafir pada sore harinya, dan sore hari beriman namun pagi harinya menjadi kafir, segolongan orang menjual agama mereka dengan materi dunia.” (HR. Ahmad)
Hadits di atas menegaskan bahwa kita mempunyai tugas untuk menjaga hidayah kita hingga titik darah terakhir, bahkan sampai sakaratul maut pun kita jaga hidayah dan keimanan kita sehingga kita mampu untuk mengucapkan ‘LAA ILAAHA ILLALLAH’, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘LAA ILAAHA ILLALLAH’ maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud)
Subhanallah, kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH begitu mahal, semahal Surganya Allah maka sudah sepatutnya untuk kita jaga baik-baik dan jangan diremehkan bahkan Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Ya Allah Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Kita selalu meminta agar akhir hayat ini ditutup dengan khusnul khatimah, itu terus kita pinta dan kita jaga agar kehidupan kita selalu mengarah kepada kebaikan dan akhirnya Allah tutup dengan kematian yang khusnul khatimah.
Sebuah fakta yang menyedihkan, pembelaannya yang demikian besar terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak kecil dan dakwah Islam tidak membuatnya beriman kepada Allah subhanahu wa ta‘ala. Hal ini sempat membuat kaum muslimin bertanya-tanya, bagaimanakah nasib Abu Thalib kelak di akhirat. Sebuah hadits Ibnu Abbas menyebutkan;
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ النَّارِ وَلَوْلَا ذَلِكَ لَكَانَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ
“Wahai Rasulullah, apakah anda dapat memberi manfaat kepada Abu Thalib karena dia telah mengasuhmu dan marah untuk (memberikan pembelaan) kepadamu?” Beliau menjawab; “Ya. ia berada di bagian neraka yang dangkal, dan kalaulah bukan karena hal tersebut niscaya berada di dasar neraka.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Perjalanan hidup paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta Abu Thalib, mengajarkan kepada umat manusia bahwa yang pertama kali menolongnya adalah keimanannya. Jika ia beriman maka kebaikannya akan menjadi kebaikan yang sempurna, jika tidak beriman maka kebaikannya menjadi sepotong. Allah akan membalas kebaikan mereka di dunia tapi tidak diberikan Allah ketika di akhirat, wallahu alam.
==============================
Demikianlah kisah kali admin akhiri dan nantikan kisah Tokoh dan Sejarah Islam lainnya hanya di Jaka Adhitea Blog....
Wassalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.....
share this article on
0 Response to "Abu Thalib Dan Misteri Hidayah - Part 2"
Post a Comment