Bilal bin Rabah (Sang Penyeru Seruan Langit) - Part 2


Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat datang bagi para sahabat dan pengunjung setia jaka adhitea blog, sebuah blog yang akan terus menyajikan lembaran-lembaran kisah tokoh dan peristiwa penting yang tersusun rapi dalam kekayaan sejarah Islam.

Kisah kali ini adalah lanjutan dari kisah sebelumnya di Bilal bin Rabah (Sang Penyeru Seruan Langit) - Part 1. Bagi yang belum membacanya bisa baca kisah sebelumnya di sini, bagi yang sudah membacanya mari kita simak lanjutan kisahnya.....


Di tengah kekejaman Quraisy, Bilal dipersilahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali ke tanah orang tuanya untuk hidup tenang beribadah disana. Tapi tidak bagi Bilal, ia justru memilih bertahan di Mekkah dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat dicintai, meski ancaman kerap kali menghampiri. Kedekatannya dengan sang Nabi serta kegigihan perjuangannya membuat ia menjadi orang yang dikenal sepanjang sejarah.

Hari-hari dihabiskan Bilal dengan terus menjadi pembela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bilal pun bersama kaum muslimin lainnya berangkat hijrah ke Madinah. Ketika kaum muslimin telah menetap di Madinah, Bilal terus mengabdikan dirinya untuk Islam. Saat masjid Nabawi telah berdiri, maka diperlukan alat untuk memanggil umat muslimin untuk mengerjakan shalat. Atas berbagai pertimbangan dan kesepakatan bersama maka sejak saat itu panggilan adzan menjadi seruan shalat bagi umat muslimin. Bilal ditunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pengemban amanah dari tugas nan mulia ini, Bilal pun yang kemudian menjadi penyeru adzan pertama dalam Islam setelah masjid Nabawi selesai dibangun.

Suara merdu nan syahdu milik Bilal melantun indah di kota Madinah. Sejak itulah nama Bilal begitu lekat dikenal sebagai mu‘adzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Amanah sebagai mu‘adzin ditunaikan Bilal dengan sungguh-sungguh. Tak peduli teriknya matahari, dingin yang menusuk tulang, Bilal tetap menjalankan tugasnya. Kesungguhan Bilal melantunkan seruan langit mampu menggetarkan hati masyarakat kota Madinah, mereka berbondong-bondong menuju masjid saat lantunan adzan Bilal berkumandang.

Adzan merupakan sesuatu yang sangat mulia dalam Islam, lalu mengapa hari ini kita menganggap mu‘adzin pekerjaan yang biasa apalagi ini pekerjaan marbot kemudian dia digaji dengan gaji yang rendah, bukan masalah itu. Ini faktornya ketika hari ini shalat sudah bukan lagi dianggap sesuatu yang istimewa oleh umat Muslim. Banyak muslimin yang mengabaikannya, akhirnya mereka mengabaikan shalat, berjama‘ah di masjid, bahkan mengabaikan adzan. Adzan dianggap sesuatu yang biasa dan ini sangat berbeda dengan zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dari itu posisi Bilal sebagai mu‘adzin adalah posisi yang sangat luar biasa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang langsung menunjuk Bilal untuk tugas yang sangat mulia ini.

Tak hanya sebagai mu‘adzin, Bilal tak mau ketinggalan mengambil peran lainnya dalam membela agama Allah. Saat moment jihad dimulai, Bilal tak mau melewatkan perannya. Di tahun ke-2 Hijriah pada perang perdana antara umat Muslim dan kaum Quraisy, Bilal turun sebagai salah satu prajurit. Di perang inilah sejarah mencatat Bilal berhasil membunuh Umayyah bin Khalaf, mantan majikan yang dulu pernah berlaku keji terhadap dirinya. Bilal sang ahli Surga terus menjadi saksi sejarah kebesaran Islam. Sampai puncaknya di tahun ke-8 Hijriah, kesucian kota Mekkah berhasil dikembalikan umat muslimin.

Membahas tentang mu‘adzin seharusnya tidak membahasnya dengan cara kita memandang hari ini, karena hari ini kita memandang mu‘adzin adalah pekerjaan yang tidak ada artinya bahkan hanya pekerjaan seorang marbot masjid. Mu‘adzin itu adalah orang yang sangat dipuji oleh Nabi luar biasa di dalam beberapa hadits dan harus dimuliakan.

Salah satu hadits tentang mu‘adzin yaitu dia adalah orang yang mendapatkan amanah untuk menginformasikan banyak hal kepada muslimin. Diantaranya ialah adzan tidak hanya sekedar menginformasikan datangnya waktu shalat, tapi adzan juga menginformasikan waktunya berbuka puasa atau menandakan habisnya waktu malam atau tanda adanya bahaya seperti kebakaran, gempa bumi dan semisalnya.

Dan itulah mengapa Bilal dengan pekerjaannya sebagai mu‘adzin itu terbentuk dalam dirinya satu amanah yang luar biasa karena mengumandangkan adzan tidak boleh meleset satu menitpun, bukankah berbahaya jika seorang mu‘adzin adzan padahal belum masuk waktunya dan itu akan berpengaruh pada sah tidaknya shalat seseorang atau sempurna atau tidaknya puasa seseorang, maka berapa banyak kesalahan yang akan terjadi. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memuliakan muadzin dengan mengatakan bahwa mu‘adzin adalah seseorang yang mendapat amanah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ اللَّهُمَّ أَرْشِدْ الْأَئِمَّةَ وَاغْفِرْ لِلْمُؤَذِّنِينَ

“Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab, dan seorang mu‘adzin adalah orang yang dipercaya. Ya Allah, tunjukilah para imam-imam itu dan ampunkanlah dosa-dosa para mu‘adzin.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)

Mengingat pentingnya tugas seorang mu‘adzin maka Bilal belajar dari pekerjaan ini adalah sebuah amanah dimana dia harus sangat menjaga kapan dia harus adzan kapan dia belum boleh adzan. Suatu pagi Bilal adzan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke masjid, beliau heran karena hanya sedikit sahabat yang hadir. Bilal mengatakan, “ya Rasulullah, semua kedinginan karena sekarang sudah memasuki musim yang sangat dingin, semua sedang kedinginan dan tidak berani keluar.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Ya Allah hilangkan dari mereka rasa dingin.”

Setelah itu dengan do‘a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam barulah orang-orang berdatangan, mereka merasakan rasa dingin itu hilang dan mereka bisa datang ke masjid. Dan ini ada sebuah pelajaran bahwa mu‘adzin adalah tugas mulia apapun keadaannya sekalipun dingin ia harus keluar melaksanakan aktifitas mulia tersebut.

Menjadi seorang mu‘adzin membuat Bilal semakin dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia selalu mengikuti kemanapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi, saat shalat maupun jihad di jalan Allah. Kebersamaannya bersama Rasulullah laksana bayangan yang tak pernah lepas dari pemiliknya. Bilal begitu mencintai dan dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka pantas jika kemudian Bilal termasuk sahabat yang dijamin masuk Surga.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan, “amal apa sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah subhanahu wa ta‘ala dari dirimu? Karena semalam aku mendengar bahwa suara sandalmu sudah ada di Surga, jika suara sandalmu terdengar di Surga maka engkau adalah orang yang dijamin masuk Surga.”

Bilal mengatakan, “ya Rasulullah, sesungguhnya aku ini orang yang kalau setiap berwudhu kemudian aku shalat 2 raka‘at sebagai bentuk rasa syukur bahwa aku bisa bersuci.”

Oleh para ulama hadits di atas sering dijadikan sebagai contoh sunnah Taqririyah (sunnah Nabi yang tidak dilakukan Nabi tapi dilakukan oleh sahabat di hadapan Nabi dan ditetapkan oleh Nabi sebagai sunnah).

Selalu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Bilal mendapat banyak pelajaran yang mahal dari sang Nabi. Kekuatan iman dan ketulusannya menyentuh kalbu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling dalam, hal ini membuat dirinya mendapat tempat tersendiri di hati Rasul dan para sahabat lainnya.

Saat penaklukan kota Mekkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengajak 3 orang untuk memasuki Ka‘bah. Bilal yang tidak dipandang di kota kelahirannya menjadi satu dari 3 orang yang ditunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk masuk ke dalam Ka‘bah. Di atas Ka‘bah pula Bilal dengan lantang melantunkan adzan sebagai simbol kemenangan umat muslimin.


Bisa kita bayangkan hari itu, hari kebesaran dan hari kemenangan hari dimana seluruh Muslim berbangga, tapi siapa yang naik ke atas Ka‘bah? Orang yang justru mendapat kesempatan untuk naik sampai ke atap Ka‘bah hanya Bilal radhiallahu ‘anhu yang hanya seorang mantan budak, orang berkulit hitam, selalu dihina bahkan para pembesar Quraisy yang dulunya ada di hadapan Ka‘bah kemudian menghina Nabi dan pernah ikut dalam penyiksaan Bilal, sekarang mereka menyaksikan orang yang mereka hina itu berada di ketinggian bahkan di atas Ka‘bah.

Orang yang dulu dihina kemudian mengundang kamu dan mengumandangkan takbir, mengumandangkan adzan ke seluruh penjuru kota Mekkah. Suaranya terdengar dengan indahnya menusuk hingga ke hati orang-orang yang beriman, menguasai seluruh jiwa mereka, maka Bilal bin Rabah mendapatkan kemuliaan tersebut.

Pada tanggal 12 rabiul awal tahun 11 Hijriah, Bilal melantunkan adzan tidak seperti biasanya. Suaranya tersendat diiringi tangisan yang tak tertahankan hingga tak kuasa mengumandangkan adzan. Setiap melantunkan adzan dan sampai pada lafadz “asyhadu anna muhammadar rasulullah”, Bilal menangis sejadi-jadinya karena sang mu‘adzin menyadari bahwa sang Rasul penuntun umat telah wafat mengakhiri tugasnya. Duka yang mendalam dirasakan Bilal sang mu‘adzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka sejak saat itu Bilal memutuskan untuk berhenti dari tugasnya menjadi mu‘adzin.

Khalifah Abu Bakar dan umat muslimin kehilangan suara merdu nan syahdu milik Bilal. Bilal lebih memilih untuk lebih banyak terlibat di moment-moment peperangan umat muslimin, meski sang khalifah berulang kali meminta Bilal untuk kembali menunaikan tugasnya sebagai mu‘adzin tapi Bilal tetap menolak.

Bilal diminta oleh Abu Bakar untuk menjadi mu‘adzin tapi Bilal menolak kemudian Abu Bakar agak sedikit memaksa Bilal. Lalu Bilal mengatakan, “wahai Abu Bakar, apakah engkau akan memaksa saya kalau dulu engkau berjasa membebaskan aku dari perbudakan dan itu karena Allah maka biarkan karena Allah maka jangan paksa aku.”

Disini Bilal merasa berhutang budi kepada Abu Bakar saat dulu ia dibebaskan dari perbudakan oleh Abu Bakar.

Abu Bakar pun menjawab, “saat itu aku membebaskanmu karena Allah subhanahu wa ta‘ala.”

Bilal kembali menjawab, “kalau begitu biarkan aku tidak menjadi mu‘adzin kecuali hanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Bilal pun meminta izin untuk turut berjihad ke Syam, Bilal pun menetap di sana hingga akhir hayatnya. Di tempat tinggalnya yang baru inilah suatu malam bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan Bilal untuk kembali menunaikan tugas yang telah lama ia tinggalkan. Bilal pun datang jauh-jauh dari negeri Syam ke Madinah, di hadapan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ia menangis akan kerinduannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keesokan harinya Bilal mengumandangkan adzan dan orang-orang pun tak menyangka kalau Bilal ada di kota Madinah tapi mereka tahu bahwa itu Bilal karena mereka hafal akan suara merdu nan syahdu milik Bilal. Mereka bertanya-tanya kapan Bilal datang, mereka rindu akan suara Bilal, mereka kehilangan suara Bilal, orang-orang menangis karena Bilal yang suaranya dirindukan oleh muslimin akhirnya hadir kembali mengumandangkan adzan di kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Bilal tercatat satu kali melantunkan adzan. Pada saat khalifah datang berkunjung ke negeri Syam, kaum muslimin membujuk Bilal kembali mengumandangkan adzan dan Bilal pun memenuhi permintaan sang khalifah. Suara Bilal yang begitu syahdu menyentuh jiwa muslimin, mengingatkan kerinduan mereka pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Moment itulah yang menjadi saat terakhir bagi muslimin mendengar lantunan adzan Bilal bin Rabah. Sebab sang mu‘adzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 20 Hijriah pada usia 63 tahun di negeri Syam.

Namanya yang dulu tidak pernah dipedulikan kini menjadi nama yang dikenal di berbagai penjuru dunia karena kemuliaannya di dalam Islam. Bilal yang pernah merasakan pedihnya siksaan kemudian menjelma sebagai simbol kebebasan dan persamaan derajat manusia. Dari pita suara Bilal kini adzan saling bersahutan memanggil umat untuk menunaikan kewajiban hingga akhir masa nanti. Bilal bin Rabah telah berjumpa dengan kekasihnya di alam abadi. Kisahnya selalu menjadi teladan bagi kaum muslimin. Namanya selalu disebut-sebut di masjid di tanah air. Bilal sang mu‘adzin sebagai penghargaan atas kiprahnya sebagai sang pengumandang seruan langit, rahimahullah Bilal bin Rabah....


Demikianlah kisah kali ini admin akhiri dan semoga dengan kisah ini kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran agar kita tidak lagi menganggap menjadi seorang mu‘adzin sesuatu yang remeh serta tidak menjadikan adzan hal yang biasa. Agar ketika kita dipercaya menjadi mu‘adzin kita tidak merasa malu bahkan bangga dan ketika mendengar adzan kita langsung ingat akan kewajiban untuk melaksanakan ibadah shalat terutama shalat berjama‘ah di masjid.

Nantikan kisah tokoh dan sejarah islam lainnya hanya di Jaka Adhitea Blog.
Zadanallah ilman wa hirshan, wassalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.....



share this article on

0 Response to "Bilal bin Rabah (Sang Penyeru Seruan Langit) - Part 2"

Post a Comment