Sikap Umar bin Abdul Aziz Saat Menerima Jabatan


Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat datang di Jaka Adhitea Blog bagi para pembaca sekaligus pengunjung setia blog ini. Kali ini saya selaku admin Jaka Adhitea blog kembali menyapa para pembaca untuk membuka cakrawala Islam dunia dengan merujuk pada Al-Qur‘an dan sunnah rasul.

Kisah kali ini untuk mengingatkan kita semua terutama buat admin sendiri dalam menyikapi sebuah pangkat atau jabatan. Semoga bermanfaat dan menjadi ladang amal dan pahala untuk saling berwasiat dalam kebajikan, aamiin ya rabbal alamiin.

=========================================

Kisah ini datang dari Negeri Irak. Di sebuah kota Damaskus yang saat itu sedang berkabung, atas meninggalnya pimpinan tertinggi mereka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Namun, khalifah tidak meninggalkan begitu saja, ternyata dia sudah menuliskan wasiat sebagai pengganti kepemimpinannya, yaitu Umar bin Abdul Aziz.

Mendengar pengangkatan itu, lutut Umar pun terkulai lemas. Umar berkata, “Demi Allah, satu hal yang tidak pernah aku minta dan aku
mohonkan dalam setiap doa-doaku adalah hal
ini (diangkat menjadi khalifah).”

Pada saat itu juga, seluruh rakyat membaiat
Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah.
Kemudian setelah pembaiatan selesai, tiba saatnya Umar memberikan sambutannya. Namun apa yang terjadi, dalam pidatonya Umar justru mengundurkan diri.

“Saudara sekalian, saat ini aku batalkan pembaiatan. Pilihlah sendiri khalifah yang kalian inginkan selain aku.” kata Umar dalam pidatonya sesaat setelah pembaiatan.

Ketika tawaran itu disampaikan, rakyat justru membaiat Umar kembali. Akhirnya Umar menerima amanah tersebut setelah pembaiatan kedua.

Kemudian, Umar memberikan sambutan keduanya. “Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Justru aku adalah orang yang memikul beban berat. Sesungguhnya, orang yang melarikan diri dari seorang pemimpin yang dzalim, dia bukan orang dzalim. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk apabila dia berada dalam kemaksiatan.”

Dimulailah masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, berbagai penyelewengan disikat habis olehnya. Tidak ada kesempatan buat pejabat yang korup, yang memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Hal ini benar-benar dimulai dari diri Umar sendiri.

Sebelum menjadi khalifah, Umar gemar memakai wangi-wangian dan berpakaian sutra. Namun semenjak diangkat menjadi khalifah, ia justru mengganti pakaiannya yang terbuat dari kain yang kasar. Perhiasan istrinya pun ia jual, dan uangnya ia masukkan dalam kas negara (Baitul Mal).

Suatu hari, istrinya mendapatkan hadiah sebuah kalung dari seorang raja negara lain. Lalu, Umar meminta istrinya untuk memberikan kalung tersebut pada baitul mal. Terang saja istrinya menolak, ia beralasan kalung adalah hadiah untuknya.

“Kau diberi hadiah karena kau istri khalifah. Kalau seandainya kau bukan siapa-siapa, tentu kau tidak akan mendapatkannya,” Umar mengingatkan istrinya.

Begitu juga pada suatu malam anaknya berkunjung ke kantor ayahnya. Maka Umar bertanya terlebih dahulu, “Kau datang untuk urusan negara atau urusan keluarga?”

Anaknya menjawab bahwa ia datang untuk urusan keluarga, seketika Umar pun mematikan penerang yang ada di dalam ruangannya. Menurut Umar, penerang yang disediakan itu memakai uang kas negara, sehingga harus dipakai untuk kepentingan negara saja.

Gaya kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz diterapkan atas dasar Al-Qur'an dan sunnah Rasul. Masa kepemimpinannya telah memberikan dampak positif pada negara. Dalam 2,5 tahun, seluruh rakyat merasakan kemakmuran kesejahteraan dan keamanan. Umar juga mengadakan kerjasama dengan para ulama besar pada zamannya, seperti Hasan al Basri (ahli hadits dan fiqih) dan Sulaiman bin Umar.

Umar berdialog dan meminta fatwa dari mereka tentang berbagai kebijaksanaannya. Mengajak mereka untuk mengajarkan rakyat tentang ilmu syari'at, setia mengikuti perintah Allah subhanahu wa ta‘ala, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Apa sebenarnya yang menyebabkan Umar sebegitu jujur dan adilnya menjadi seorang pemimpin?

Umar takut, karena kelak jabatannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa ta‘ala. Begitu takutnya, Umar sampai menangis tersedu-sedu meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta‘ala.

Fatimah bin Abdul Malik, istrinya pernah menemukan Umar sedang menangis di tempat shalatnya.

“Kenapa kau menangis wahai khalifah?” tanya Fatimah.

“Wahai Fatimah, sesungguhnya aku memikul beban umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dari yang hitam hingga yang merah,” jawab Umar, kemudian melanjutkan kembali.

“Aku memikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang-orang yang tersisihkan, teraniaya, terintimidasi, yang tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat namun hartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu di seluruh pelosok negeri.” kata Umar masih tersedu.

“Aku tahu dan aku sadar bahwa Rabb-ku kelak akan menanyakan hal ini di hari kiamat. Aku khawatir, saat itu aku tidak memiliki alasan yang kuat di hadapan Rabb-ku. Itulah yang membuatku menangis.” jelas Umar.

=========================================

Masya Allah, begitu takutnya Umar bin Abdul Aziz ketika dia diberikan amanah untuk menjadi khalifah atau pemimpin. Ia takut dan sadar akan banyaknya resiko yang akan ia hadapi ketika menjabat menjadi seorang pemimpin. Pangkat dan jabatan bisa menjerumuskan seseorang ke Neraka jika ia tidak bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik, sebaliknya pangkat dan jabatan bisa memasukkan seseorang ke Surga jika ia bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik serta adil dan pemimpin yang adil adalah termasuk salah satu dari tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan Allah dimana tidak ada lagi naungan di hari akhir.

Umar bin Abdul Aziz takut saat menerima jabatan pun karena begitu berat tanggung jawabnya. Diceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah:

ﻳَﺎ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦَ ﺳَﻤُﺮَﺓَ ﻟَﺎ ﺗَﺴْﺄَﻝْ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﺭَﺓَ ﻓَﺈِﻥْ ﺃُﻋْﻄِﻴﺘَﻬَﺎ ﻋَﻦْ ﻣَﺴْﺄَﻟَﺔٍ ﻭُﻛِﻠْﺖَ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﺃُﻋْﻄِﻴﺘَﻬَﺎ ﻋَﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﻣَﺴْﺄَﻟَﺔٍ ﺃُﻋِﻨْﺖَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺣَﻠَﻔْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﻤِﻴﻦٍ ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖَ ﻏَﻴْﺮَﻫَﺎ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻓَﺄْﺕِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﻛَﻔِّﺮْ ﻋَﻦْ ﻳَﻤِﻴﻨِﻚَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

“Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa meminta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu.” (HR. Bukhari-Muslim)

Akan tetapi ketika telah mengemban amanah berupa jabatan maka hendaklah berlaku adil, tidak menjadi pemimpin yang menjalankan hukum seperti “PISAU”, tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Allah subhanahu wa ta‘ala sudah menegaskan di dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan. ” (QS. Al Maidah : 8)

Barakallahu fiikum....
Wassalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh....

share this article on

0 Response to "Sikap Umar bin Abdul Aziz Saat Menerima Jabatan"

Post a Comment